:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2515102/original/098708600_1543920889-LBH_Pers.jpg)
Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyoroti adanya fenomena baru dalam dunia jurnalistik, yakni pelaporan narasumber atas informasinya yang dimuat oleh media. Isu tersebut dianggap krusial terhadap kebebasan berekspresi khususnya pers.
Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin menyampaikan, memang ada pendapat yang menyebut bahwa pernyataan narasumber saja yang dipermasalahkan, bukan beritanya. Dasar tersebut dijadikan landasan untuk memasukkan ke ranah pidana.
"Tapi kemudian ketika lebih jauh terkait pers itu sendiri, pertanyaan sangat penting bagi saya, bagaimana berita tanpa narasumber? Ini pertanyaan kunci, ketika narasumber dipisahkan dari produk jurnalistik. Apakah jadi bisa dikatakan produk jurnalistik?," tutur Ade di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (4/12/2018).
Menurut Ade, produk jurnalistik mencakup tiga hal penting. Adanya si pewarta atau jurnalis, narasumber, dan isu berita itu sendiri. Jika salah satunya hilang, produk jurnalistik itu dapat dibilang cacat dan dipertanyakan kebenarannya.
"Artinya tidak bisa dipisahkan. Jadi keduanya (jurnalis dan narasumber) memang dalam ruang lingkup jurnalistik yang perlu dihormati sesuai Undang-Undang Pers," jelas dia.
Untuk itu, permasalahan informasi yang diberikan oleh narasumber kepada media yang memuat menjadi produk jurnalistik mempunyai prosedur penyelesaian masalah melalui Undang-Undang Pers. Bukan malah dibawa kepada laporan kepolisian.
"Jika ada pihak yg keberatan maka harus mengajukan Hak Jawab. Atau kalau keliru ya Hak Koreksi. Kalau itu tidak dilakukan, bisa mengadukan ke Dewan Pers terkait penilaian berita itu sendiri. Dinilai Dewan Pers apakah melanggar kode etik atau tidak," kata Ade.
"Akan fair jika tulisan dibalas tulisan. Bukan dibalas dengan kriminalisasi atau penjara. Justru akan menjadi masyarakat yang tidak sehat. Menurut saya menjadi tidak demokratis dalam berbangsa," lanjutnya.
Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani menambahkan, perlindungan narasumber menjadi perlu dalam proses pembuatan produk jurnalistik.
Dia mencontohkan kasus pelaporan Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi oleh 64 hakim Mahkamah Agung (MA) terkait turnamen tenis yang digelar Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP) MA dengan dugaan pencemaran nama baik. Informasi tersebut dimuat di Harian Kompas pada 12 September 2018.
"Kepada media saya rasa penting menjaga. Kompas jangan diam lah. Ketika narasumber ada dikutip mereka, maka redaksi Kompas juga harus bersuara membela narasumber itu sendiri. Kalau ini sampai goal, maka akan menjadi ancaman kebebasan pers kita, bahkan kebebasan berekspresi. Orang akan takut bicara," beber Asnil.
from Berita Hari Ini Terbaru Terkini - Kabar Harian Indonesia | Liputan6.com https://ift.tt/2PjnE8cBagikan Berita Ini
0 Response to "Kriminalisasi Narasumber, Merosotnya Kebebasan Berekspresi dan Pers"
Post a Comment