Liputan6.com, Jakarta - Kekalahan ISIS di Irak dan Suriah yang memicu fenomena kembalinya foreign terorist fighter (FTF) ke negara asal, serta, berkembangnya indoktrinasi terorisme di dunia maya, mendorong pemerintah dunia untuk bersiap menghadapi perubahan taktik kelompok teror dewasa ini.
Merespons hal itu, Indonesia, Australia, dan mitra di Asia Tenggara dan Pasifik, bersama-sama mengutarakan komitmennya untuk bekerjasama menghadapi ancaman baru tersebut, kata para pejabat tinggi negara yang hadir dalam pertemuan "Sub-Regional Meeting on Counter Terrorism: Responding To Evolving Terrorist Strategies and Tactics" di Jakarta hari ini, 6 November 2018.
"Pertemuan ini membahas upaya negara peserta sub-regional dalam memberantas tindak pidana terorisme melalui satu penguatan kerja sama yang telah ada," kata Menkopolhukam RI Wiranto dalam konferensi pers bersama Menteri Dalam Negeri Australia Peter Dutton, di mana keduanya merupakan co-chair pertemuan itu, Selasa (6/11/2018).
Pertemuan sub-regional itu juga dihadiri perwakilan pejabat senior dari Brunei Darussalam, Malaysia, Myanmar, Selandia Baru, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Lebih lanjut, Wiranto mengatakan, "Kita juga mencoba merancang program-program baru yang perlu kita lakukan sehubungan dengan peningkatan ancaman terorisme yang juga menggunakan berbagai media dan cara-cara baru baik teknis maupun taktik mereka."
Ancaman Terorisme di Dunia Maya
Kedua pemimpin menggarisbawahi perubahan bentuk terorisme, yang semula berupa pertempuran fisik seperti di Irak dan Suriah pada 2014 silam, atau seperti di Marawi, Filipina pada pertengahan 2017, menjadi terorisme di dunia siber. Perubahan bentuk itu menjadi ancaman terbaru yang mesti dihadapi oleh pemerintah negara peserta sub-regional tersebut.
"Ini merupakan isu signifikan," kata Dutton, "masalah terorisme di dunia maya tidak boleh kita biarkan begitu saja, karena hal itu berdampak pada kawula muda kita," tambahnya.
Oleh karenanya, negara peserta sub-regional menggandeng platform media sosial Twitter Indonesia untuk mendiskusikan permasalahan tersebut.
"Kita berterimakasih kepada Twitter (Indonesia) atas kontribusinya," kata Dutton.
Menurut Dutton, dalam beberapa waktu terakhir, Twitter telah menangguhkan sekitar 1,2 juta penggunannya di dunia karena diduga berhubungan atau terafiliasi dengan organisasi teroris.
"Itu angka yang signifikan," jelas Dutton yang melanjutkan bahwa negara peserta pertemuan sub-regional akan bertindak lebih jauh dengan merampungkan sebuah aksi nyata berupa kebijakan atau kerja sama regional, dan, tak hanya terbatas pada Twitter saja.
"Kerja sama yang akan kita lakukan tak terbatas pada apa yang disampaikan hari ini saja, tapi, akan terus berkembang seiring dengan meningkatnya aktivitas dan ancaman terorisme di sosial media."
"Perusahaan sosial media punya tanggung jawab, pesan-pesan yang beredar di sosmed sangat penting bagi kita semua ... perusahaan-perusahaan itu punya kewajiban untuk membantu pemerintah dan penegak hukum untuk ikut memberantas terorisme," tambahnya.
"Terutama untuk fitur pesan terenkripsi (encripted messages), yang layanannya bisa saja digunakan untuk perencanaan terorisme atau tindakan kriminal serius lainnya."
"Perusahaan-perusahaan tersebut harus berbagi tanggung jawab dengan pemerintah," tutup Dutton.
Sementara itu, Menkopolhukam Wiranto, pada kesempatan terpisah ketika ditanya soal kelanjutan tindak lanjut terkait upaya meregulasi platform sosial media untuk menekan bertumbuhnya terorisme di dunia maya, mengatakan, "Twitter sudah menawarkan diri, dan pemerintah telah bekerjasama dengan mereka terkait isu tersebut .... Facebook juga."
"Nanti, sumbangsih dari kelompok kerja pertemuan sub-regional akan kita tindak lanjuti ke depannya."
Simak video pilihan berikut:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "RI, Australia dan Negara Mitra Bersiap Hadapi Terorisme Dunia Maya"
Post a Comment